Jumat, 18 November 2016

KORUPSI

Nama : Mufti Abdillah
Kelas : 4EA22
NPM : 15213675
Tugas : Softskill Etika Bisnis


Singkatan 'KKN' adalah salah satu singkatan yang akrab bagi masyarakat Indonesia. Sering kalau ada protes anti-pemerintah, singkatan KKN ini didengar dan diteriakkan oleh para demonstran atau ditulis di atas spanduk-spanduk. KKN ini mengacu ke korupsi, kolusi dan nepotisme dan - yang banyak mencemaskan mayoritas penduduk Indonesia - telah menjadi bagian intrinsik atau sudah mendarah-daging di pemerintah Indonesia, mungkin mencapai puncaknya selama rezim Orde Baru Presiden Suharto(1965-1998). Masalah korupsi politik di Indonesia terus menjadi berita utama (headline) hampir setiap hari di media Indonesia dan menimbulkan banyak perdebatan panas dan diskusi sengit. Di kalangan akademik para cendekiawan telah secara terus-menerus mencari jawaban atas pertanyaan apakah korupsi ini sudah memiliki akarnya di masyarakat tradisional pra-kolonialzaman penjajahan Belanda, pendudukan Jepang yang relatif singkat (1942-1945) atau pemerintah Indonesia yang merdeka berikutnya. Meskipun demikian, jawaban tegas belum ditemukan. Untuk sementara harus diterima bahwa korupsi terjadi dalam domain politik, hukum dan korporasi di Indonesia (meskipun ada beberapa tanda, yang dibahas di bawah, yang mengarah ke perbaikan situasi ini).
Kerangka historis korupsi di Indonesia
Meskipun terdapat banyak contoh korupsi dalam sejarah sebelumnya di Indonesia, kita ambil sebagai titik awal kita rezim Orde Baru Presiden Suharto (1965-1998), yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomimengesankan yang cepat dan berkelanjutan (dengan Produk Nasional Bruto rata-rata 6.7 persen per tahun antara tahun 1965-1996), tapi juga terkenal karena sifat korupnya. Suharto memanfaatkan sistem patronase untuk mendapatkan loyalitas bawahannya, anggota elit nasional dan kritikus terkemuka. Dalam hal pertukaran peluang bisnis atau posisi politik Suharto bisa mengandalkan dukungan mereka. Dengan Angkatan Bersenjata (termasuk aparat intelijen) dan pendapatan sumber daya nasional sangat besar (yang berasal dari produksi minyak pada 1970-an) yang dia gunakan, dia meraih kedudukan puncak dalam sistem politik dan ekonomi nasional, menyerupai kekuatan patrimonial penguasa tradisional di masa pra-kolonial dulu.
Dalam membuat kebijakan ekonomi, Suharto mengandalkan saran dan dukungan dari sekelompok kecil orang kepercayaan di sekitarnya. Kelompok ini terdiri dari tiga kategori: para teknokrat yang dilatih di Amerika Serikat (USA-trained technocrats), nasionalis ekonomi (yang mendukung gagasan peranan besar pemerintah dalam perekonomian) dan kroni kapitalis (yang terdiri dari anggota keluarga dan beberapa konglomerat etnis Cina kaya). Pada saat itu, semua kategori ini dituduh korup namun sebagian besar penekanan mengarah ke lingkaran kecil kroni kapitalis (terutama anak-anak Suharto) yang merupakan penerima manfaat utama dari skema privatisasi negara - maka mereka tidak disukai oleh pengusaha nasional dan masyarakat - dan sering menjalankan monopoli bisnis besar yang beroperasi dengan sedikit pengawasan atau pemantauan.
Salah satu karakteristik penting korupsi selama Orde Baru Suharto adalah korupsi tersebut agak terpusat dan dapat diprediksi. Investor dan pengusaha bisa memprediksi jumlah uang yang harus mereka sisihkan untuk biaya-biaya 'tambahan' dan mereka mengetahui mana orang-orang yang akan perlu mereka suap.Tapi juga ada taktik untuk memasukkan kroni Suharto dalam kegiatan bisnis untuk mengurangi ketidakpastian yang disebabkan oleh birokrasi yang amat ruwet. Pola yang sama ini ada di tingkat lokal di mana gubernur dan komandan militer setempat menikmati hak istimewa yang sama seperti di pusat namun selalu sadar bisa kena hukuman dari pusat jika mereka mendorongnya (sogokan) terlalu jauh. Dengan era baru Reformasi, yang dimulai setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998, situasi ini berubah.
Desentralisasi Korupsi Indonesia
Situasi ini berubah dengan drastis waktu setelah lengsernya Suharto pada 1998 program desentralisasi daerah yang ambisius dimulai pada tahun 2001 yang meramalkan pemindahan otonomi administrasi dari Jakarta ke kabupaten (bukan ke provinsi). Program baru ini sejalan dengan tuntutan masyarakat tetapi memiliki efek samping negatif pada pola distribusi korupsi. Penyuapan tidak lagi 'dikoordinasikan' seperti yang telah terjadi di masa lalu tapi menjadi terpecah-pecah dan tidak jelas. Desentralisasi berarti bahwa pemerintah daerah mulai membuat peraturan daerah baru (sering tidak dirancang dengan ketat) yang memungkinkan para pejabat lainnya dari berbagai tingkat pemerintah dan lembaga lainnya untuk berbaur dan meminta tambahan keuangan.
Menyadari kebutuhan mendesak untuk mengatasi korupsi (karena merugikan investasi dan umumnya mendorong adanya ketidakadilan terus-menerus dalam masyarakat), sebuah badan pemerintah baru didirikan pada tahun 2003. Lembaga pemerintah ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (disingkat KPK), ditugaskan untuk membebaskan Indonesia dari korupsi dengan menyelidiki dan mengusut kasus-kasus korupsi serta memantau tata kelola negara (yang menerima kekuasaan yang luas).
Namun, opini-opini mengenai prestasi KPK masih diperdebatkan. Para pengkritik menekankan bahwa KPK lebih fokus untuk menangani tokoh profil yang lebih rendah (tokoh kecil dan tidak penting), meskipun selama beberapa tahun terakhir, terutama menjelang akhirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ada beberapa kasus tokoh profil tinggi seperti menteri, pejabat kepolisian berpangkat tinggi, hakim dan bendahara partai dari Partai Demokrat-nya Yudhoyono yang telah diciduk. Sebagian keberhasilan dan keberanian KPK ini telah memicu perlawanan - sebagian besar dari orang-orang yang pernah diusut atau diinterogasi - mengklaim bahwa KPK sendiri adalah lembaga yang korup. Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah skandal telah muncul di mana anggota KPK - konon - dijebak oleh petugas polisi senior dan ditangkap untuk melemahkan kewenangan KPK.
SUMBER:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar